Home » » Bisakah Laki-laki Menjadi Feminis?

Bisakah Laki-laki Menjadi Feminis?


Pemahaman Teori Feminisme
Bila kita membaca beberapa definisi tentang “feminisme”, maka, secara umum feminisme adalah aktivisme politik oleh perempuan atas dasar kepentingan perempuan.  Teori gelombang kedua feminisme di awal tahun 1970-an yang dimulai di Perancis menggaris bawahi kata “femme’ yaitu perempuan dan kata akhiran “isme” yang berarti posisi politis, istilah tersebut dipakai secara khusus untuk membela kaum perempuan (Cott 1986, McCann & Seung 2003).  Definisi feminisme pada perkembangannya memang memiliki beberapa variasi namun tetap memiliki definisi yang mengasumsikan adanya kelompok historisitas agen perempuan yang menilai adanya ketidakadilan perempuan dan kemudian melakukan konfrontasi dan merubah kondisi.

Teori-teori feminisme seperti juga seperti teori-teori filsafat politik misalnya, hanyalah merupakan alat intelektual dimana agen-agen historisitas dapat memeriksa ketidakadilan yang terjadi dan mengonfrontasikannya dan membangun argumen-argumen yang dapat mendukung tuntutan-tuntutan untuk perubahan.Teori-teori feminisme mengaplikasikan alat-alat intelektual mereka untuk membangun pengetahuan tentang penindasan dan atas dasar itu membangun strategi untuk menolak subordinasi dan memajukan kehidupan perempuan.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh teori-teori feminisme antara lain: Bagaimana perempuan ditindas?  Bagaimana kita bisa mengerti bahwa penindasan perempuan terjadi karena atas dasar jenis kelamin dan bukan karena kekurang beruntungan atau karena individu tersebut.Bagaimana kita bekerjasama untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan?(McCann & Seung 2003).

Teori feminisme berkaitan erat dengan ontologi (teori tentang Ada dan realitas), epistemologi (teori tentang pengetahuan yang dihasilkan) dan politik (teori tentang kekuasaan/power).Unsur yang terakhir mungkin yang paling penting bahwa bagaimana teori feminisme dapat akuntabel terhadap politik; harus ada penjelasan yang masuk akal, strategi yang efektif untuk perubahan.Artinya, harus ada ukuran yang jelas antara teori dan praktek politis, adanya deskripsi dan analisis tentang kehidupan perempuan sekaligus aplikasinya.

Sepanjang sejarah feminisme baik yang berasal dari Barat maupun Timur, telah banyak  yang berhasil memproduksi pengetahuan perempuan lewat teori-teori yang ingin mengubah ketidakadilan yang dialami perempuan.  Sebut saja teori klasik Simone de Beauvoir (filsuf Perancis) yang merumuskan konsep tentang adanya pemahaman perempuan sebagai “yang lain” dan bukan subyek sehingga itu sebabnya mengalami berbagai penindasan seperti penindasan budaya, ekonomi, sosial dan sebagainya.  Ada pula feminis yang bernama Amarita Basu yang berusaha memetakan posisi perempuan transnasional yang tidak terikat pada batasan-batasan geografis tertentu dan masuk pada apa yang disebut “masyarakat global”(Basu, 2000).  Ada juga feminis Inji Aflatun dari Mesir yang berusaha untuk menjelaskan pemahaman tentang perempuan Mesir.Penggambaran adanya berbagai kepentingan nasionalisme, kebebasan dan fundamentalisme.Terkoyak-koyaknya perempuan antara demokrasi yang mendesak cepat dan tradisi yang menguat.

Letak Laki-laki di dalam Teori Feminisme
Memang teori feminisme tidak hanya menekankan tentang pemahaman penindasan tetapi juga tentang apa aksi yang perlu dilakukan untuk menghapus penindasan.  Tujuan dari proyek feminisme adalah menghapus penindasan dan meraih kesetaraan dan keadilan sosial.Tujuan ini dirasakan bukan hanya milik perempuan namun juga laki-laki, meskipun harus digaris bawahi terutama untuk kepentingan perempuan.

Beberapa filsuf laki-laki telah menunjukkan pentingnya kesetaraan perempuan seperti John Stuart Mill (1806-1873) yang menulis On Liberty dan The Subjection of Women, kedua tulisannya pada dasarnya menguatkan kesetaraan perempuan.Terutama pada The Subjection of Women, Mill berusaha menjelaskan mengapa adanya ketidaksetaraan antara relasi laki-laki dan perempuan.  Bahwa bukan saja adanya bias gender kebijakan-kebijakan yang ada akan tetapi praktek-praktek masyarakat yang sama sekali tidak adil terhadap perempuan.  Bahkan Mill menyinggung soal kontrak perkawinan yang juga sama sekali tidak adil kepada perempuan karena seringkali perempuan tidak memiliki pilihan di dalam kehidupan perkawinan sebanyak laki-laki.  Michael Walzer (1935-  ), adalah pemikir lain yang menulis In Defense of Equality,  yang secara eksplisit mendukung pemahaman sistem “kuota”, sebuah konsep yang dapat menaikkan kesetaraan dan memberikan posisi yang adil bagi kelompok minoritas.  Sistem kuota ini bagi kelompok perempuan yang ingin menaikkan representasi perempuan di ranah politik dirasakan sangat berguna.Walzer juga mengupas soal bagaimana resistennya kelompok laki-laki kelas mapan yang menolak sistem kuota juga kelompok-kelompok agama dan budaya tradisional.

Tidak diragukan lagi bahwa filsuf-filsfuf kontemporer seperti John Rawls dan Amartya Sen merupakan laki-laki yang sangat berkontribusi secara teoretis tentang keadilan untuk perempuan.
Namun, apakah laki-laki yang disebutkan di atas sungguh-sungguh dapat dikatakan laki-laki feminis?Apakah perjuangan pengetahuan mereka diperuntukkan untuk kepentingan perempuan?Adakah posisi politik yang jelas dari mereka yang sungguh-sungguh membela posisi perempuan?

Meskipun saya menganggap bahwa laki-laki dapat menjadi pro-feminis, akan tetapi saya tidak dapat memastikan bahwa laki-laki bisa menjadi feminis seutuhnya.  Ada kesan laki-laki berkontribusi secara teori bukan dalam arti “mempertaruhkan jiwanya” akan tetap lebih pada sekedar simpati atau empati paling jauh “merasakan kepiluan” korban.Namun sikap seperti ini pun merupakan kemajuan yang luar biasa karena tidak banyak laki-laki yang bisa bersikap seperti itu.
Laki-laki di dalam sistem patriarkal tidak dapat sungguh-sungguh membebaskan diri dari kekuasaan dan privelese mereka dalam relasi dengan perempuan.Menjadi feminis bagi saya bukan saja cukup mencari solusi keterpurukan perempuan tapi juga menjadi bagian dari kelompok yang terpuruk itu.Benar bahwa banyak perempuan yang juga memiliki sikap seperti laki-laki yang tidak merasakan keterpurukan kelompok perempuan, bahkan menyalahkan perempuan-perempuan tersebut.Tapi kita di sini tidak hendak berbicara perempuan secara umum, kita berbicara perempuan feminis yang memproduksi pengetahuan feminisme, paling tidak telah memiliki bukan saja modal pengetahuan sosial soal ketertindasan tapi masuk pada golongan ini, ada identitas yang tak terlepas.

Jadi bagi saya,menjadi seorang feminis harus masuk di dalam target kelompok tersebut karena teori yang dihasilkan bukan saja melakukan upaya klasifikasi akan tetapi ada persoalan “direct livedexperience” yang perlu diperhitungkan (lihat tulisan Brian Klocke di NOMAS).  Sama halnya ketika kita berkata kita bersimpati dengan kelompok Ahmadiyah yang teraniaya di negara ini, namun, apakah kita memiliki “direct lived experience” tersebut?

Apakah Peranan Laki-laki dalam Pergerakan Feminisme?
Laki-laki yang berkeinginan masuk dalam pergerakan perempuan memang tidak dapat dikatakan percuma.Meskipun harus diakui bahwa teori-teori yang diproduksi oleh kaum feminis lebih berguna bagi laki-laki ketimbang sebaliknya.Penulisan perempuan lebih berkarakter dan kuat dalam pengalaman.Terlebih lagi, para feminis yang memproduksi teori memiliki kekuatan penulisan yang didukung oleh cerita-cerita pribadi dari berbagai perempuan.  Sedangkan laki-laki tidak akan menulis pengalaman-pengalaman laki-laki yang menindas perempuan karena cerita-cerita personal seperti itu sulit diungkapkan laki-laki sebab sikap yang lemah dan siap berbagi cerita tidak lazim dilakukan oleh laki-laki karena faktor budaya patriarki.

Bell Hooks adalah feminis yang kritis terhadap keterlibatan laki-laki pada gerakan feminisme.Ia  menyatakan bahwa kritik feminis laki-laki yang memproduksi teori lebih fokus pada apa yang secara politis (politically correct) yang dapat dilakukan oleh pria di hadapan publik.  Atau, bagaimana menjadi pria yang sensitif.Lebih dari itu tidak.  Sebab tujuannya bukan untuk membongkar budaya patriarki dan kebusukannya tapi untuk “pencitraan” laki-laki baru (Brian Klocke dan Bell Hooks dalam Understanding Patriarchy, 2004) .Lebih mengerikan lagi menurut Bell Hooks, gerakan laki-laki feminis dalam budaya popular cenderung men-depolitisasi perjuangan ketidakadilan perempuan atau seksisme tapi lebih fokus pada “aktualisasi diri”.

Kritik Bell Hooks menurut saya sangat tajam dan menohok mereka yang hanya “berpura-pura” menjadi feminis karena keuntungan pribadi.Namun, apakah tidak tersisa tempat bagi laki-laki untuk bisa berkontribusi?Hooks menyakini bahwa bila laki-laki ingin ikut di dalam pergerakan perempuan, pergerakan feminis laki-laki bersifat ad-hoc atau bagian dari pergerakan feminisme dan bukan pergerakan tersendiri.Artinya, pergerakan laki-laki feminis harus memiliki rumah yang menyatu dengan organisasi perempuan dan berada di bawah organisasi perempuan.

Brian Klocke seperti juga feminis Alison Jaggar menyakini bahwa laki-laki bisa berkontribusi untuk pergerakan perempuan.Akan tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa laki-laki harus belajar tentang teks teori feminis.  Mempelajari teks feminis bukan saja harus berguru pada para feminis yang memproduksi teori akan tetapi juga berguru pada pengalaman pribadi, ikut terlibat dalam pengalaman sosial dan politik yang memajukan kesetaraan dan kebebasan.  Laki-laki harus mendukung penulis perempuan yang membidangi teori feminismedan berkonsultasi dengan mereka.Hal ini tentunya untuk menghilangkan arogansi laki-laki yang terbiasa dianggap lebih berpengetahuan (superior) dari perempuan karena adanya supremasi pengetahuan laki-laki yang berabad-abad lamanya.Terlebih lagi, laki-laki feminis harus berani menantang laki-laki yang alergi terhadap feminisme dan tidak membiarkan apalagi ikut menertawakan kaum feminis.

Bagi saya kritik yang disampaikan oleh para feminis penting untuk dicatat namun saya akan mengambil jalan ketiga, yang tidak bersifat dikotomis dan jatuh pada esensialiasme.  Selain itu,  ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan saya yaitu mengingat Indonesia belum sepenuhnya lepas dari masyarakat yang kuat secara tradisi dan budaya patriarki yang menggurita.  Karena itu, bagi saya menjadi laki-laki feminis adalah sebuah proses yang terus menerus diasah kemampuan teori feminismenya dan praktek pada kehidupan pribadinya, berusaha sekuat tenaga membangun masyarakat yang berkeadilan gender dalam niat maupun hasrat, dengan segala keterbatasan yang ada, namun menggunakan imajinasi yang seluas-luasnya.
Share this article :

0 comments:

Posting Komentar

Jangan lupa komennya ya demi membangun blog ini agar menjadi lebih baik dari sekarang saran anda sangat berarti untuk perkembangan blog ini :)

 
Copyright © 2011. Indonesian Toshokan - All Rights Reserved